TANYAFAKTA.CODi Provinsi Jambi, pembangunan infrastruktur seolah menjadi mantra sakti pemerintah daerah untuk menutupi kegagalan dalam pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Jalan dibuka, gedung baru didirikan, taman ditata ulang, dan trotoar dipercantik—tetapi rakyat masih bergelut dengan air keruh, akses pendidikan yang timpang, dan fasilitas kesehatan yang compang-camping. Maka, pertanyaannya: untuk siapa infrastruktur ini dibangun, dan mengapa anggaran daerah habis untuk proyek yang tidak menyentuh akar persoalan?

Dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jambi Tahun 2024, lebih dari Rp1,9 triliun dialokasikan untuk sektor infrastruktur fisik melalui Dinas PUPR, Bina Marga, dan instansi terkait. Namun, jika kita telusuri output-nya di lapangan, kita justru menemukan jalan yang dibangun tanpa koneksi strategis, jembatan yang mengarah ke hutan sawit milik korporasi, dan drainase yang rusak kembali setelah dua musim hujan. Serapan anggaran jalan terus, meskipun hasilnya tidak pernah benar-benar menyentuh denyut nadi masyarakat miskin.

Inilah wajah sesungguhnya dari politik proyek dan serapan anggaran: membangun bukan karena urgensi publik, melainkan karena kejar target laporan dan pencitraan kepala daerah. Banyak proyek infrastruktur hanya menjadi alat pembuktian visual bahwa pemerintah “bekerja”, padahal yang dibangun hanyalah simbol, bukan solusi.

Baca juga:  Provinsi Jambi Diam - Diam Dikuasai Perjudian Online

Ketimpangan pembangunan antara wilayah pesisir-tengah-darat di Jambi sangat nyata. Kota Jambi, sebagai pusat pemerintahan, selalu menjadi prioritas. Sementara itu, wilayah seperti Tebo, Sarolangun bagian dalam, Merangin hulu, dan Bungo pedalaman terus tertinggal. Jalan kabupaten dan provinsi di kawasan tersebut banyak yang berlumpur dan berlubang, membuat mobilitas masyarakat terganggu, bahkan membahayakan nyawa.

Sebagai contoh, jalan penghubung Pauh–Air Hitam di Sarolangun hingga kini hanya ditambal sulam. Padahal jalan ini vital untuk menghubungkan petani karet dan sawit ke pusat distribusi. Namun, pemerintah justru memilih membangun trotoar di depan kantor gubernur dan memoles taman kota, yang hanya dilalui oleh segelintir orang.

Apakah keadilan pembangunan hanya untuk yang dekat kekuasaan?

Pemerintah Provinsi Jambi pernah mengalokasikan lebih dari Rp16 miliar untuk pembangunan gedung pertemuan, tanpa pernah dilakukan kajian dampak sosial atau analisis kebutuhan masyarakat. Sementara itu, masih banyak Puskesmas rawat inap di desa-desa terpencil yang kekurangan tempat tidur, tenaga medis, bahkan listrik. Ini bukan soal ketiadaan anggaran, melainkan salah urus prioritas.

Baca juga:  Geopark Merangin antara Program Dunia atau Hiperbola Global ?

Contoh lain adalah proyek pembangunan Taman Hutan Kota Jambi yang menelan anggaran miliaran, padahal tidak memiliki rencana pelibatan komunitas lingkungan secara nyata, dan kini menjadi ruang publik setengah mati, tanpa aktivitas yang berdampak luas.

Yang lebih menyakitkan, proyek-proyek infrastruktur besar ini seringkali diluncurkan menjelang tahun politik, dijadikan alat jualan elektoral. Kepala daerah yang sedang bersiap naik level, atau para calon yang ingin maju Pilkada, akan muncul dalam baliho besar dengan narasi: “Pembangunan Jalan X, Wujud Komitmen Kami.”

Padahal dalam banyak kasus, proyek itu adalah lanjutan dari dana pusat atau program lintas tahun yang hanya dimanfaatkan untuk pencitraan. Bahkan ada yang menempelkan foto di proyek yang masih dalam tahap perencanaan, tanpa kontribusi kebijakan nyata dari sang politisi.

Menurut data BPS Provinsi Jambi, per Maret 2024, tingkat kemiskinan di Jambi masih berada di angka 6,82%, bahkan naik tipis dibanding tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak serta-merta menyelesaikan masalah struktural. Pendidikan rendah, lapangan kerja terbatas, dan harga pangan tidak stabil adalah masalah yang terus diabaikan karena tidak “instagramable” dibanding peresmian jalan atau jembatan.

Baca juga:  RPJMD dan Pembangunan yang Berakar pada Kebutuhan Rakyat 

Jika kebijakan infrastruktur di Provinsi Jambi terus dibangun hanya untuk menyerap anggaran, mendukung politisi, dan memoles citra kekuasaan, maka ini bukan pembangunan ini adalah pemborosan yang dilegalkan oleh sistem. Rakyat Jambi tidak butuh taman yang mahal, jalan yang berlapis-lapis di kawasan elit, atau gedung yang kosong. Rakyat butuh akses pendidikan yang setara, pelayanan kesehatan yang layak, dan harga kebutuhan pokok yang stabil.

Infrastruktur sejatinya adalah alat untuk menciptakan keadilan spasial dan sosial. Bukan alat untuk menipu rakyat bahwa pembangunan sedang berjalan, padahal ketimpangan semakin tajam. Jika pemerintah Provinsi Jambi ingin benar-benar disebut “berpihak pada rakyat”, maka ubah prioritas: dari membangun proyek, menjadi membangun martabat.

Oleh: Muhammad Ravi | Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi