“Perwal 61 Tahun 2018 harus ditinjau ulang. Di lapangan, justru pelaku usaha tidak menyediakan kantong belanja gratis, melainkan menjual kantong plastik berbayar. Ini menyimpang dari peraturan” ujarnya.
Lebih jauh, Djokas mengusulkan agar pelaku usaha diwajibkan menyediakan kantong belanja ramah lingkungan secara gratis. Ia juga mendorong pelibatan UMKM lokal dalam produksi kantong alternatif tersebut. Ini bukan sekadar solusi lingkungan, tapi juga peluang untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan. Usulan ini patut diapresiasi. Jika dijalankan dengan serius, produksi kantong ramah lingkungan oleh UMKM lokal dapat menciptakan sirkulasi ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Di sinilah peran pemerintah sebagai fasilitator dan kolaborator diuji, bukan hanya sebagai pembuat regulasi. Jika pemerintah sungguh ingin mewujudkan Jambi yang bebas sampah plastik, maka kebijakan yang inklusif dan partisipatif adalah keniscayaan. Tidak cukup hanya melarang, pemerintah harus juga menyediakan entah berupa insentif, edukasi, maupun sarana alternatif.
Kota Jambi tidak butuh slogan kosong. Jambi butuh kepemimpinan lingkungan yang berpihak pada rakyat kecil, berani menindak pelanggaran, serta membangun sistem yang mendorong perubahan gaya hidup masyarakat. Jangan sampai “Jambi Bebas Sampah Plastik” hanya menjadi pembuka kampanye politik yang gegap gempita, lalu senyap tanpa hasil.
Kini waktunya Pemerintah Kota Jambi bergerak dari janji ke aksi. Revisi Perwal harus segera dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan secara terbuka dan solutif. Jangan biarkan semangat lingkungan hanya menjadi narasi sesaat. Jadikan ia fondasi kuat bagi masa depan kota yang lebih bersih dan berdaulat secara ekologis maupun ekonomi.
Oleh: Faradilla Aulia |
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Jambi
Tinggalkan Balasan