Alih-alih menjadi lokomotif kemandirian energi, proyek tersebut justru mempertegas persoalan sistemik: elite ekonomi-politik yang abai terhadap kepentingan rakyat, kebijakan yang tidak transparan, serta kegagalan pembangunan yang tidak berpijak pada kebutuhan konstituen terlemah—yakni rakyat kecil.

Memperingati, Menyadari, dan Melanjutkan

Momentum Haul Bung Karno tidak boleh terjebak dalam seremoni kosong. Ia harus dimaknai sebagai titik balik: untuk membaca ulang karya-karya seperti Sarinah dan Indonesia Menggugat, serta untuk meninjau kembali konsep Marhaenisme sebagai pisau analisis dan basis perjuangan yang aktual.

Ketika rakyat kecil semakin termarjinalkan, kekayaan alam dikuasai oligarki, dan semangat kolektivisme digantikan oleh ego sektoral—di situlah sesungguhnya kita diuji. Apakah kita masih merupakan generasi ideologis Bung Karno? Ataukah telah bergeser menjadi anak zaman yang mengagungkan kekuasaan dan melupakan perjuangan?

Baca juga:  CSR Olahraga Jambi : Perlu tapi Tak Bisa Menyalahkan Perusahaan

Menghidupkan Bung Karno bukan berarti membangun patung atau mengutip kata-katanya di baliho. Menghidupkan Bung Karno berarti memperjuangkan keadilan sosial, memperkuat demokrasi kerakyatan, dan mengembalikan politik sebagai alat emansipasi, bukan dominasi.

Akhirnya, sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang lupa akan masa lalunya, akan kesulitan menentukan masa depannya. Maka, mari jadikan peringatan ini sebagai panggilan untuk melawan lupa. Karena Bung Karno tidak pernah benar-benar mati, selama cita-cita perjuangannya terus diperjuangkan.

Penulis : Kepala Badan Advokasi dan Hukum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI)