Oleh : Tulus Lumbantoruan

TANYAFAKTA.CO Tanggal 21 Juni bukan hanya catatan wafatnya seorang tokoh nasional. Lebih dari itu, ia merupakan momen reflektif bagi bangsa Indonesia dalam menakar sejauh mana warisan ideologis Sukarno masih hidup dalam praktik bernegara dan bermasyarakat. Tepat 55 tahun yang lalu, Bung Karno, Proklamator dan Bapak Bangsa, berpulang. Namun pertanyaannya: apakah gagasan dan perjuangan beliau juga turut dikuburkan bersama jasadnya?

Bung Karno tidak sekadar mewariskan kemerdekaan dalam pengertian politis. Ia meninggalkan warisan pemikiran berupa nasionalisme yang inklusif, Marhaenisme yang membela kaum tertindas, dan Revolusi yang bersifat kontinyu—sebuah ajakan untuk terus bergerak, bertransformasi, dan membebaskan diri dari segala bentuk penindasan struktural.

Di tengah realitas kontemporer yang ditandai oleh banalitas moral, eksploitasi ekonomi, dan komodifikasi politik, muncul kegelisahan fundamental: masihkah bangsa ini memaknai Bung Karno sebagai sumber inspirasi ideologis? Ataukah sekadar menjadikannya nama jalan, hiasan mural, dan judul pidato seremonial tahunan?

Baca juga:  Polisi Pelindung Rakyat atau Pelindung Kekuasaan? Refleksi atas Penanganan Aksi Demonstrasi 

Pernyataan legendaris Bung Karno bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa pahlawannya,” perlu dibaca secara lebih dalam. Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang—tetapi bangsa yang mewarisi semangat, mempraktikkan nilai, dan melanjutkan perjuangan para pahlawannya.

PLTU Kalbar dan Ironi Anak Bangsa: Ketika Ajaran Bung Karno Tak Lagi Membumi

Beberapa waktu terakhir, muncul kritik terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalimantan Barat yang dinilai menjadi “kuburan uang negara”—sarana pemborosan fiskal, simbol salah urus kebijakan energi, dan bukti lemahnya akuntabilitas anak perusahaan BUMN. Fenomena ini, bagi sebagian kalangan, adalah bentuk antitesis dari semangat Trisakti Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Baca juga:  Harapan Besar kaum Tani Jambi Ada di Romi Haryanto

Alih-alih menjadi lokomotif kemandirian energi, proyek tersebut justru mempertegas persoalan sistemik: elite ekonomi-politik yang abai terhadap kepentingan rakyat, kebijakan yang tidak transparan, serta kegagalan pembangunan yang tidak berpijak pada kebutuhan konstituen terlemah—yakni rakyat kecil.

Memperingati, Menyadari, dan Melanjutkan

Momentum Haul Bung Karno tidak boleh terjebak dalam seremoni kosong. Ia harus dimaknai sebagai titik balik: untuk membaca ulang karya-karya seperti Sarinah dan Indonesia Menggugat, serta untuk meninjau kembali konsep Marhaenisme sebagai pisau analisis dan basis perjuangan yang aktual.

Ketika rakyat kecil semakin termarjinalkan, kekayaan alam dikuasai oligarki, dan semangat kolektivisme digantikan oleh ego sektoral—di situlah sesungguhnya kita diuji. Apakah kita masih merupakan generasi ideologis Bung Karno? Ataukah telah bergeser menjadi anak zaman yang mengagungkan kekuasaan dan melupakan perjuangan?

Baca juga:  Haul Bung Karno di Masa Krisis Keteladanan, Saatnya Ziarah Pemikiran

Menghidupkan Bung Karno bukan berarti membangun patung atau mengutip kata-katanya di baliho. Menghidupkan Bung Karno berarti memperjuangkan keadilan sosial, memperkuat demokrasi kerakyatan, dan mengembalikan politik sebagai alat emansipasi, bukan dominasi.

Akhirnya, sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang lupa akan masa lalunya, akan kesulitan menentukan masa depannya. Maka, mari jadikan peringatan ini sebagai panggilan untuk melawan lupa. Karena Bung Karno tidak pernah benar-benar mati, selama cita-cita perjuangannya terus diperjuangkan.

Penulis : Kepala Badan Advokasi dan Hukum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI)