Oleh : Sulistyawati Pohan
TANYAFAKTA.CO – Di era globalisasi dan kemajuan teknologi yang melaju begitu cepat, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam dunia pendidikan. Banyak pihak masih beranggapan bahwa kecerdasan intelektual adalah satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan.
Menurut pandangan umum di masyarakat Indonesia, pendidikan yang baik adalah yang mampu menghasilkan nilai ujian tinggi dan peringkat terbaik. Padahal, sejatinya pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk manusia yang berkarakter kuat.
Hemat penulis, tanpa karakter, kecerdasan bisa disalahgunakan untuk kepentingan yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan karakter seharusnya menjadi pilar utama dalam kebijakan pendidikan nasional.
Pendidikan karakter bukanlah konsep baru di Indonesia. Berbagai tokoh pendidikan telah lama menyuarakan pentingnya membangun karakter sejak dini. Namun demikian, menurut hasil evaluasi Kemendikbud (tahun 2020), dalam praktiknya pendidikan karakter sering kali hanya menjadi wacana.
Banyak sekolah masih terlalu fokus pada nilai-nilai akademik, peringkat siswa, dan capaian kognitif, sementara nilai-nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan disiplin kurang mendapat perhatian. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita cenderung menomorsatukan angka dibandingkan akhlak.
Pendidikan karakter merupakan investasi jangka panjang. Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat seperti hasil ujian akademik yang dapat diukur dengan angka. Namun, karakter terbentuk melalui proses yang konsisten dan berkelanjutan.
Penulis berpendapat, anak yang dibiasakan bersikap jujur sejak kecil akan tumbuh menjadi pribadi yang tetap jujur meskipun tidak ada pengawasan. Nilai-nilai seperti ini sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan dunia kerja, meski tidak bisa diukur secara formal.
Permasalahan utama dalam pendidikan karakter di Indonesia terletak pada kurangnya keteladanan dan konsistensi. Menurut survei Balitbang Kemendikbud (tahun 2018), banyak sekolah memiliki program pendidikan karakter, namun belum berhasil membangun budaya yang benar-benar mendukung nilai-nilai tersebut.
Seorang guru mungkin mengajarkan pentingnya disiplin, tetapi jika ia sendiri sering datang terlambat atau tidak tegas terhadap pelanggaran, maka siswa tidak akan menghargai nilai itu. Demikian pula di rumah, orang tua yang meminta anak jujur tetapi justru memberi contoh buruk seperti berbohong, akan melemahkan nilai yang ingin ditanamkan.
Pemerintah sebenarnya telah menunjukkan upaya untuk memperkuat pendidikan karakter. Salah satunya adalah Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada (tahun 2016), serta penerapan Kurikulum Merdeka mulai diperkenalkan secara bertahap pada (tahun 2022).
Namun, upaya tersebut masih belum cukup. Banyak guru belum memiliki pemahaman yang mendalam dan keterampilan praktis dalam menerapkan pendidikan karakter di kelas.
Selain itu, indikator untuk menilai perkembangan karakter siswa pun masih belum terstandar. Tanpa sistem yang terstruktur dan berkelanjutan, pendidikan karakter hanya akan menjadi slogan kosong. Pendidikan karakter juga tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah. Keluarga dan lingkungan masyarakat memegang peran yang sangat penting.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah Ditjen PAUD Dikdasmen (tahun 2021), sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat adalah kunci keberhasilan pendidikan karakter. Anak-anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai positif jika mereka melihat adanya konsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang dipraktikkan di rumah dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, kebijakan pendidikan karakter harus melibatkan peran aktif orang tua dan masyarakat, misalnya melalui pelatihan orang tua, forum diskusi sekolah, atau program kemitraan berbasis komunitas.
Lebih dari itu, pendidikan karakter sangat relevan dalam menyiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan. Dunia kerja, kehidupan sosial, hingga tantangan etika dalam penggunaan teknologi membutuhkan individu yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki integritas, empati, dan daya juang.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek (tahun 2023), soft skill dan karakter menjadi aspek utama yang ditanamkan dalam Profil Pelajar Pancasila. Pengetahuan tanpa karakter bisa menimbulkan masalah, tetapi karakter yang kuat akan mengarahkan ilmu kepada kemanfaatan.
Sebagai penutup dari penulis, perlu ditegaskan bahwa pendidikan karakter bukan pelengkap dari pendidikan formal, melainkan inti dari seluruh proses pendidikan. Pemerintah harus menjadikannya sebagai prioritas dalam kebijakan pendidikan nasional.
Guru perlu mendapatkan pelatihan dan dukungan untuk menjadi teladan dan fasilitator nilai-nilai karakter. Sekolah harus membangun budaya yang kondusif terhadap pembentukan karakter. Dan yang terpenting, keluarga dan masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam proses ini.
Karakter adalah warisan paling berharga yang bisa diberikan pendidikan kepada generasi muda. Dengan pendidikan karakter yang kuat, saya yakin bangsa Indonesia akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga jujur, tangguh, dan berintegritas. Itulah masa depan yang layak kita perjuangkan bersama.
Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN STS Jambi


Tinggalkan Balasan