TANYAFAKTA.CO, KOTA JAMBI – Polemik pungutan liar (pungli) kembali mencuat di lingkungan SMA Negeri 3 Kota Jambi. Sejumlah orang tua siswa mengaku kecewa terhadap keputusan sekolah yang dinilai sepihak dan diskriminatif.
Dilansir dari Gaperta.id, Sejumlah siswa dilaporkan tidak naik kelas, bukan karena nilai akademik yang buruk, melainkan karena persoalan kehadiran yang berkaitan dengan tekanan sosial dan dugaan bullying akibat ketidakmampuan ekonomi.
Salah satu siswa, sebut saja “A”, siswa kelas XI, tidak naik kelas karena absensinya tercatat mencapai 19 hari. Namun, menurut informasi yang dihimpun, Suryanto memiliki prestasi akademik di atas rata-rata. Ia mengaku enggan ke sekolah karena kerap dibully oleh teman-temannya.
“Saya sering dibully karena tidak pernah membayar semua pungutan sekolah. Itu membuat saya malu dan akhirnya enggan masuk sekolah,” ungkapnya.
Hal serupa dialami oleh “B”, siswa kelas X yang juga gagal naik kelas karena masalah absensi. Padahal, Suryana dikenal sebagai siswa yang rajin dan berperilaku baik.
“Saya tidak pernah mengeluarkan uang untuk biaya sekolah, jadi sering diejek. Itu membuatnya kehilangan semangat belajar,” kata seorang narasumber yang tidak ingin disebutkan namanya.
Dugaan pungli di SMA N 3 Kota Jambi mencakup berbagai jenis pungutan kepada siswa, di antaranya:
- Uang Komite: Rp50.000 hingga Rp200.000 per bulan
- Uang Acara Ulang Tahun Sekolah: Rp250.000 per siswa
- Kas Kelas: Rp20.000 per bulan
- Pembelian LKS: Sekitar Rp15.000 per buku
- Pembuatan Kartu Siswa: Rp70.000 per siswa
- Pembelian AC Kelas: Rp250.000 per siswa
- Uang Perpisahan Kelas X & XI: Rp90.000 per siswa
Penggunaan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah negeri seharusnya sudah tidak diperbolehkan berdasarkan Surat Edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Namun, SMA N 3 Kota Jambi diduga tetap menerapkannya. Selain itu, pungutan untuk kartu siswa juga menuai sorotan karena biaya pembuatannya dinilai jauh lebih murah di pasaran, yakni hanya sekitar Rp10.000.
“Buku paket memang dipinjamkan secara gratis, tetapi untuk meminjamnya siswa diwajibkan memiliki kartu siswa. Ironisnya, kartu itu harus dibayar Rp70.000,” ujar salah satu sumber.
Uang komite yang dipungut setiap bulan juga dinilai tidak transparan, karena kegiatan seperti perpisahan atau acara sekolah lainnya masih dibebankan kepada siswa secara terpisah.
Pemerintah mengalokasikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sekitar Rp1.500.000 per siswa setiap tahunnya. Publik mempertanyakan efektivitas penggunaan dana ini jika masih banyak pungutan diberlakukan.
“Kemana dana BOS selama ini? Kenapa pembiayaan masih dibebankan ke siswa dan orang tua?” keluh seorang wali murid.
Sejumlah pihak juga mempertanyakan peran pengawasan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jambi dan Inspektorat Kota Jambi yang dinilai pasif terhadap laporan masyarakat terkait dugaan pungli di SMA N 3 Kota Jambi.
Lebih lanjut, muncul juga dugaan bahwa sekolah menerima siswa titipan setiap tahun tanpa prosedur resmi, dengan pembayaran antara Rp10 juta hingga Rp12 juta.
“Bahkan orang tua siswa yang anaknya tidak naik kelas tidak pernah diajak musyawarah. Semua keputusan diambil sepihak oleh pihak sekolah, tanpa memberi ruang klarifikasi atau perbaikan,” tambah narasumber.
Masyarakat berharap Gubernur Jambi Drs. H. Al Haris, S.Sos., M.H., dan Wali Kota Jambi segera turun tangan mengevaluasi manajemen SMA N 3 Kota Jambi secara menyeluruh. Dugaan pungli dan diskriminasi berbasis ekonomi ini dinilai dapat mencederai keadilan pendidikan dan merusak masa depan generasi muda. (*)


Tinggalkan Balasan