Inovasi dan digitalisasi sering dijadikan kata kunci pencitraan, namun bagaimana bisa berbicara tentang “ekonomi digital” ketika birokrasi masih tersandera mentalitas manual, dan korupsi justru semakin lihai menyusup di balik teknologi? Kecanggihan sistem e-government tak banyak berarti jika transparansi hanya menjadi simbol, bukan sikap dasar.

Lalu bagaimana dengan anak-anak muda yang kelak disebut sebagai “bonus demografi”? Apakah mereka hanya akan dijadikan komoditas statistik, atau benar-benar diberdayakan sebagai subjek perubahan?

Dua puluh tahun menuju Indonesia Emas seharusnya menjadi ajakan untuk berpikir jernih dan bertindak tegas. Bukan sekadar bermimpi besar, tapi bekerja keras secara terukur, adil, dan jujur. Bukan hanya membangun gedung pencakar langit, tapi juga membenahi fondasi integritas yang rapuh.

Baca juga:  Walikota Jambi Terpilih, Dr. Maulana, Jadi Pemateri Stadium General KAMMI Kota Jambi

Indonesia tidak kekurangan potensi, tapi sering kehilangan arah karena terlalu sibuk menjual mimpi, alih-alih mengerjakan realita. Maka jika ingin benar-benar menuju Indonesia Emas, mungkin sudah saatnya kita berhenti bertepuk tangan untuk pencitraan, dan mulai menggugat kenyataan.

Penulis merupakan Kepala Bidang Kebijakan Publik PD KAMMI Kota Jambi