Oleh : Anjar Fadlillah

TANYAFAKTA.CO Dua dekade tersisa menuju momen yang diagung-agungkan: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi besar tentang negara maju, adil, dan sejahtera di usia seabad Republik. Tapi di tengah gegap gempita jargon dan narasi optimistik, satu pertanyaan mendasar menggantung di udara: Apakah kita benar-benar sedang menuju ke sana, atau hanya sibuk merias wajah statistik?

Pembangunan masif, pemindahan ibu kota, dan deretan proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah sering diklaim sebagai fondasi emas masa depan. Namun publik bertanya: emas untuk siapa? Ketimpangan sosial masih mencolok, akses pendidikan dan kesehatan yang layak belum menyentuh seluruh pelosok, dan angka kemiskinan yang “menurun” lebih banyak karena penyesuaian definisi, bukan realitas di lapangan.

Baca juga:  Bursah Zarnubi Resmi Pimpin Apkasi 2025–2030: Perkuat Otonomi Daerah dan Kepentingan Nasional

Politik nasional pun tak luput dari sorotan. Alih-alih mempersiapkan institusi yang kuat dan demokratis, energi elite tampaknya lebih terfokus pada manuver kekuasaan: perpanjangan masa jabatan, koalisi pragmatis tanpa visi, dan revisi undang-undang yang rawan konflik kepentingan. Janji-janji pemilu terus bergulir, namun yang bertahan justru tradisi pembiaran dan pengaburan tanggung jawab.

Di bidang pendidikan, kita dihadapkan pada generasi muda yang tumbuh dalam era digital, namun sayangnya, seringkali tanpa arah. Kurikulum berubah mengikuti irama politik, bukan kebutuhan zaman. Sementara itu, para siswa dan guru bergulat dengan infrastruktur yang timpang, ketimpangan akses, dan kebijakan yang inkonsisten. Di saat yang sama, sistem pendidikan formal kalah saing dengan budaya instan media sosial.

Baca juga:  Kapolda Jambi Lakukan Groundbreaking Pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG

Inovasi dan digitalisasi sering dijadikan kata kunci pencitraan, namun bagaimana bisa berbicara tentang “ekonomi digital” ketika birokrasi masih tersandera mentalitas manual, dan korupsi justru semakin lihai menyusup di balik teknologi? Kecanggihan sistem e-government tak banyak berarti jika transparansi hanya menjadi simbol, bukan sikap dasar.

Lalu bagaimana dengan anak-anak muda yang kelak disebut sebagai “bonus demografi”? Apakah mereka hanya akan dijadikan komoditas statistik, atau benar-benar diberdayakan sebagai subjek perubahan?

Dua puluh tahun menuju Indonesia Emas seharusnya menjadi ajakan untuk berpikir jernih dan bertindak tegas. Bukan sekadar bermimpi besar, tapi bekerja keras secara terukur, adil, dan jujur. Bukan hanya membangun gedung pencakar langit, tapi juga membenahi fondasi integritas yang rapuh.

Baca juga:  Dampak Perang Dagang Presiden Trump bagi Ekonomi Indonesia

Indonesia tidak kekurangan potensi, tapi sering kehilangan arah karena terlalu sibuk menjual mimpi, alih-alih mengerjakan realita. Maka jika ingin benar-benar menuju Indonesia Emas, mungkin sudah saatnya kita berhenti bertepuk tangan untuk pencitraan, dan mulai menggugat kenyataan.

Penulis merupakan Kepala Bidang Kebijakan Publik PD KAMMI Kota Jambi