TANYAFAKTA.CO, MUARO JAMBI – Insiden memalukan terjadi di penghujung kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Sulthan Thaha Saifuddin (STS) Jambi, Rabu (27/8/2025). Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kedapatan menginjak bendera Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di hadapan ribuan mahasiswa baru.
Tak berhenti di situ, seorang kader HMI juga menjadi bulan-bulanan puluhan oknum kader PMII. Aksi pengeroyokan tersebut menambah luka dan kekecewaan kader HMI.
Ketua Komisariat HMI Fakultas Sains dan Teknologi UIN STS Jambi, Adhifa Azra, mengecam keras insiden tersebut. Ia menilai tindakan itu bukan sekadar perbuatan sembrono, melainkan pelecehan terhadap simbol organisasi sekaligus penodaan marwah HMI.
“Menginjak bendera HMI sama saja dengan menginjak harga diri jutaan kader dan alumni di seluruh Indonesia. Ditambah lagi, pengeroyokan terhadap kader kami adalah bentuk arogansi yang tidak bisa ditolerir,” tegas Adhifa.
Menurutnya, bendera HMI bukan sekadar kain berwarna hijau-hitam, melainkan simbol kehormatan, identitas perjuangan, serta warisan sejarah organisasi yang berdiri sejak 1947.
Adhifa juga menyesalkan insiden itu terjadi di depan gerbang kampus UIN STS Jambii, yang seharusnya menjadi tempat pendidikan moral dan integritas.
“Alih-alih mendidik, kejadian ini justru mencoreng citra mahasiswa Islam. Yang lebih mengecewakan lagi, hingga kini pihak kampus belum menyampaikan sikap resmi,” tambahnya.
Lebih lanjut, HMI menuntut tiga hal:
1. PMII secara institusional meminta maaf secara terbuka, bukan sekadar berlindung di balik dalih “oknum”.
2. Sanksi tegas diberikan kepada pelaku, baik yang menginjak bendera maupun yang mengeroyok kader HMI.
3. UIN STS Jambi segera bersikap resmi, memberikan klarifikasi, serta menunjukkan tanggung jawab moral sebagai lembaga pendidikan Islam.
Adhifa menegaskan, HMI tidak akan tinggal diam menghadapi pelecehan terhadap simbol perjuangan.
“Bagi kami, marwah adalah harga mati. Tidak ada satu pun pihak yang berhak melecehkan bendera HMI. Kami akan selalu menjaga kehormatan itu,” pungkasnya.

Tak tinggal diam, diketahui saat ini Badan Koordinasi (BADKO) HMI Jambi juga sudah melaporkan insiden ini ke Polda Jambi pada Kamis, (28/8/2025) dini hari.
Ketua Umum Badko HMI Jambi, Ozi Saifirman, bersama Kuasa Hukum Afriansyah, SH. MH., mengungkapkan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sepele dan harus diselesaikan secara hukum.
“Tidak ada kata damai! Kami mintak tangkap segera pelaku tersebut,” tegas Ozi.
Pernyataan tersebut menjadi sinyal keras, bahwa kasus kekerasan yang menimpa kader HMI bukan hanya persoalan antar individu, tetapi telah menjadi preseden buruk bagi dunia akademik dan penegakan hukum di Jambi.
Ozi menegaskan bahwa Badko HMI Jambi akan mengawal kasus ini hingga tuntas, tanpa kompromi, sebagai bentuk perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan dan pembiaran oleh pihak-pihak yang seharusnya menjaga marwah institusi pendidikan.
“Di sini kita akan lihat keseriusan aparat kepolisian untuk menuntaskan ini. Dalam menangkap oknum pelaku pengeroyokan,” tambahnya.

Namun, kritik tajam tak hanya dialamatkan pada aparat penegak hukum. Pihak kampus, UIN STS Jambi, juga tak luput dari sorotan. Diamnya pihak rektorat pasca insiden justru menimbulkan kecurigaan yang lebih besar.
“Jika pihak kampus diam, berarti kami duga pelaku pengeroyokan ini orang dekat pihak kampus,” cetus Ozi.
Disisi lain, Wakil Sekretaris Bidang PB HMI, Deki Azhari, menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal kasus ini hingga tuntas, baik melalui mekanisme internal kampus maupun jalur hukum.
Dia mengatakan, tindakan anarkisme di dalam kampus merupakan pelanggaran serius terhadap norma hukum, etika akademik, dan tata tertib perguruan tinggi.
“Terlebih, perbuatan pengeroyokan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan. Oleh karena itu, kami menuntut agar aparat penegak hukum dan pihak kampus menindaklanjuti kasus ini secara tegas dan transparan,” tegas Deki Azhari.
Lebih lanjut, Deki menyatakan bahwa Rektor UIN STS Jambi tidak dapat melepaskan tanggung jawab atas insiden tersebut, sebab kejadian berlangsung dalam forum resmi yang diselenggarakan oleh pihak kampus.
“Kampus adalah locus akademik yang seharusnya menjamin perlindungan terhadap hak-hak mahasiswa. Karena itu, Rektor harus bertanggung jawab atas kelalaian pengawasan dan memastikan sanksi administratif maupun akademik diberikan kepada pelaku,” tegasnya.
Dia juga menambahkan, bahwa kasus ini telah menjadi attensi PB HMI untuk ditindaklanjuti dan disikapi secara serius.
PB HMI menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal perkembangan kasus ini, termasuk opsi langkah hukum apabila penanganan di tingkat kampus dinilai tidak memadai.
Bagi PB HMI, kekerasan dalam bentuk apapun tidak boleh mendapatkan ruang di lingkungan akademik yang seharusnya menjunjung tinggi asas kebebasan akademik, demokrasi kampus, dan supremasi hukum. (AAS)


Tinggalkan Balasan