Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
TANYAFAKTA.CO, JAMBI – Keberhasilan Provinsi Jambi meraih Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 menjadi momentum penting bagi daerah yang kaya akan tradisi, sejarah, dan kearifan lokal.
Dalam pidatonya, Gubernur Al Haris menegaskan bahwa kebudayaan akan menjadi poros pembangunan daerah, menggambarkan keyakinan bahwa nilai-nilai luhur masyarakat Jambi dapat menjadi panduan arah pembangunan di tengah arus modernisasi. Namun, di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan mendasar: benarkah masyarakat yang berbudaya otomatis terbebas dari kebohongan dan korupsi?
Kebudayaan memang sarat dengan nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab sosial. Di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, adat telah lama menjadi panduan hidup dengan falsafah adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.
Namun dalam kenyataan sosial, nilai luhur itu seringkali hanya berhenti di tataran simbolik. Tidak sedikit komunitas yang menjunjung tinggi adat istiadat, tetapi masih terjebak dalam praktik manipulasi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan, meskipun penting sebagai fondasi moral, tidak otomatis menjamin perilaku bersih dan bebas korupsi.
Korupsi dan kebohongan sering kali lahir dari sistem yang lemah dan birokrasi yang tertutup. Persoalan ini lebih bersifat struktural ketimbang moral semata. Dalam konteks pembangunan daerah, menjadikan kebudayaan sebagai poros pembangunan tanpa memperkuat tata kelola dan transparansi justru berisiko menjadikan kebudayaan sekadar retorika politik. Nilai-nilai budaya harus hadir dalam sistem — dalam pengelolaan anggaran yang terbuka, pengawasan publik yang kuat, dan keberanian menindak pelanggaran tanpa pandang bulu.
Di sisi lain, kebudayaan kerap dipolitisasi. Ia bisa menjadi alat legitimasi atau proyek pencitraan bagi kekuasaan. Festival, penghargaan, atau program berbasis budaya sering kali digunakan untuk membangun citra moral pemerintah, sementara di belakang layar muncul praktik penyimpangan. Tidak jarang pula dana kebudayaan menjadi sumber proyek dan hibah yang rawan diselewengkan. Dalam kondisi seperti itu, berbudaya bukan lagi soal kejujuran, melainkan strategi mempertahankan reputasi.
Kebudayaan yang sejati justru harus diuji dalam tata kelola yang bersih. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap program berbasis budaya memiliki mekanisme audit, transparansi anggaran, dan partisipasi masyarakat. Masyarakat adat, seniman, akademisi, dan komunitas lokal mesti dilibatkan agar kebudayaan tidak kehilangan maknanya. Integritas harus menjadi jiwa dari kebudayaan itu sendiri, bukan sekadar pernak-pernik dalam perayaan.
Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 adalah capaian yang patut dibanggakan, namun lebih penting lagi menjadikannya cermin untuk refleksi. Jambi tidak hanya harus dikenal karena kekayaan budayanya, tetapi juga karena kejujuran dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Sebab, hakikat berbudaya bukan hanya menjaga tarian, bahasa, dan adat, melainkan menegakkan kebenaran, menolak kebohongan, dan memerangi korupsi dalam setiap langkah pembangunan.
Berbudaya sejati berarti hidup dalam nilai moral yang diterapkan dalam tindakan — di ruang publik, di kantor pemerintahan, dan di hati nurani. Penghargaan boleh menjadi simbol, tetapi kebersihan moral dan kejujuran adalah warisan budaya yang paling berharga bagi generasi Jambi masa depan.
Tinggalkan Balasan