Ia menambahkan, berdasarkan hasil penelusuran, obyek sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hary Chandra, orang tua Sucipto Yudodiharjo, tidak berada di lokasi kejadian.

“Semenjak awal 2012 lalu hingga kini Budiman yang merupakan mandor yang juga mengaku sebagai perpanjangan tangan Sucipto  tidak pernah melihat sporadik atau SHM Hary Chandra. Mandor Sucipto berbelit dan berbohong menyebut lahan Sucipto 100 hektare tapi tidak tahu batas-batas kebun hingga kini,” tegas Azhari.

Sehari sebelumnya, Selasa (21/10/2025), pihak pemohon menghadirkan dua saksi: Bahsul Alam dan Rudi Hartono, keduanya warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Bahsul Alam menuturkan bahwa pada 16 Juli 2025 sekitar pukul 10.00 WIB, ia melihat pihak perusahaan datang mengambil foto di lahan kelompok tani.

Baca juga:  Didampingi Wakapolda Jambi dan Dirlantas, Kapolda Jambi Resmikan Gedung Pelayanan BPKB

“Lokasinya benar-benar milik kelompok tani, bukan milik perusahaan, dan berada di sebelah kanan jalan,” ujarnya sambil menunjukkan video lokasi panen bersama petani.

Ia menjelaskan, lahan tersebut milik Kelompok Tani Maju Bersama (KTMB) di Dusun Hidayah dengan luas sekitar 48 hektare, berada di kawasan hutan lindung yang berdekatan dengan area PT EWF.

“Sampai sekarang lahan itu belum bersertifikat. Sejak tahun 2016 masih kawasan hutan,” tambahnya.

Sementara Rudi Hartono menegaskan bahwa Thawaf Aly dikenal sebagai tokoh petani dan pengurus KTMB sejak 2013.

“Saya kenal Thawaf Aly sejak kecil, kami satu kampung, meskipun beda RT. Ia aktif membantu petani di wilayah kami,” ungkapnya.

Baca juga:  Sekda Muaro Jambi Resmi Lantik Anggota Paskibraka

Kedua saksi mengaku sangat mengenal Thawaf Aly sebagai aktivis yang kerap mendampingi petani di Merbau.

Sidang praperadilan ini diajukan oleh tim kuasa hukum Thawaf Aly yang terdiri dari Ahmad Azhari, Agus Efandri, M. Syamsurizal, dan Ringkot Nedy Harahap dari Pantasirua & Yatsirubisatya Law Firm.

Dalam permohonannya, mereka menyatakan penetapan, penangkapan, dan penahanan terhadap Thawaf Aly tidak sah dan batal demi hukum, karena melanggar Pasal 77 huruf a KUHAP.

“Penetapan hingga penahanan terhadap klien kami dilakukan sebelum pemeriksaan selesai, tanpa dasar hukum yang sah, dan melanggar hak asasi manusia,” tegas Azhari.

Kasus ini berawal dari laporan dugaan pencurian sawit di kawasan hutan Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Thawaf Aly ditangkap pada 29 September 2025 dan dijerat Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.

Baca juga:  Harga TBS Kelapa Sawit Jambi Kembali Turun, Petani Harap Stabilitas Harga

Tim kuasa hukum menilai perkara ini sarat rekayasa dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani, sebab akar persoalannya diduga kuat merupakan sengketa lahan antara kelompok tani Merbau dan pengusaha sawit asal Medan, Sucipto Yudodiharjo.

Sidang akan berlanjut dengan penyampaian kesimpulan dari pemohon dan termohon sebelum hakim memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap Thawaf Aly. (AAS)