TANYAFAKTA.CO, JAMBI – Sidang praperadilan yang diajukan oleh Thawaf Aly terhadap termohon Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jambi kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Rabu (22/10/2025).

Dalam sidang ini, pihak termohon menghadirkan tiga saksi, yakni penyidik Polda Jambi Satrio Handoko dari Subdit III Jatanras, serta dua orang sipil, Abdul Aziz dan Budiman, yang disebut sebagai pekerja dan perpanjangan tangan pengusaha sawit asal Medan, Sucipto Yudodiharjo.

Sidang dibagi dalam dua tahap pemeriksaan saksi, dimulai dengan Abdul Aziz dan Budiman.

Budiman mengaku sebagai mandor yang mengawasi proses penanaman dan pemanenan sawit di lahan Sucipto.

“Kami menanam mulai tahun 2013,” ungkapnya di hadapan hakim.

Ia menyebut pertemuannya dengan Sucipto terjadi pada 2012 saat ada pekerjaan di Kumpeh, Muaro Jambi. Setelah itu, Budiman ditunjuk sebagai mandor pribadi Sucipto.

Namun, kuasa hukum Thawaf Aly, Ahmad Azhari, menilai keterangan Budiman penuh kejanggalan. Sebagai mandor di lahan seluas sekitar 100 hektare, Budiman justru tidak mengetahui dokumen administrasi lahan yang dia awasi.

“Tidak pernah melihat surat-menyurat, hanya pernah ditunjukkan fotokopi sertifikat, itupun saya tidak ingat sertifikat apa,” kata Budiman.

Hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana Budiman mengetahui batas-batas lahan tanpa pernah melihat dokumen kepemilikannya. Ia juga mengaku masih berhubungan dengan Sucipto hingga tahun 2024, namun tidak tahu-menahu soal administrasi lahan, bahkan tak berani menanyakan keberadaan atasannya itu.

Baca juga:  Dulu Rival, Kini Ivan Wirata Siap Menangkan Pasangan Masnah-Zulkifli

Saksi lainnya, Abdul Aziz, warga Merbau, mengaku melihat dugaan pencurian sawit di lahan Sucipto. Namun keterangan Aziz justru memperkuat dugaan kejanggalan proses penyidikan. Ia menyebut buah sawit yang diduga hasil curian tidak pernah dibawa polisi sebagai barang bukti.

Lebih lanjut, Aziz menegaskan bahwa Thawaf Aly tidak berada di lokasi kejadian.

“Tidak ada Thawaf Aly, yang ada Asman dan anggotanya,” ujarnya di persidangan.

Sementara itu, penyidik Satrio Handoko dari pihak termohon bersikeras bahwa proses penyidikan telah sesuai prosedur hukum.

“Dalam pemeriksaan ditemukan aktivitas panen sawit sebanyak 32 ton. Semua tahapan penyidikan sudah sesuai SOP,” ujarnya.

Rangkaian kesaksian dari pihak termohon menjadi sorotan tim kuasa hukum Thawaf Aly. Menurut Ahmad Azhari, sidang kali ini membuka fakta baru yang menguatkan dugaan tidak sahnya penangkapan terhadap Thawaf Aly.

“Polda Jambi tidak memiliki barang bukti berupa buah sawit yang disebut 32 ton, juga dodos dan keranjang sebagai alat untuk melakukan pencurian,” tuturnya.

Azhari juga menegaskan, Thawaf Aly belum pernah diperiksa atau dimintai keterangan sebelum ditetapkan sebagai tersangka.

Ia menambahkan, berdasarkan hasil penelusuran, obyek sertifikat hak milik (SHM) atas nama Hary Chandra, orang tua Sucipto Yudodiharjo, tidak berada di lokasi kejadian.

Baca juga:  Seruan "Tangkap Sucipto Mafia Tanah" Menggelora di Jambi

“Semenjak awal 2012 lalu hingga kini Budiman yang merupakan mandor yang juga mengaku sebagai perpanjangan tangan Sucipto  tidak pernah melihat sporadik atau SHM Hary Chandra. Mandor Sucipto berbelit dan berbohong menyebut lahan Sucipto 100 hektare tapi tidak tahu batas-batas kebun hingga kini,” tegas Azhari.

Sehari sebelumnya, Selasa (21/10/2025), pihak pemohon menghadirkan dua saksi: Bahsul Alam dan Rudi Hartono, keduanya warga Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Bahsul Alam menuturkan bahwa pada 16 Juli 2025 sekitar pukul 10.00 WIB, ia melihat pihak perusahaan datang mengambil foto di lahan kelompok tani.

“Lokasinya benar-benar milik kelompok tani, bukan milik perusahaan, dan berada di sebelah kanan jalan,” ujarnya sambil menunjukkan video lokasi panen bersama petani.

Ia menjelaskan, lahan tersebut milik Kelompok Tani Maju Bersama (KTMB) di Dusun Hidayah dengan luas sekitar 48 hektare, berada di kawasan hutan lindung yang berdekatan dengan area PT EWF.

“Sampai sekarang lahan itu belum bersertifikat. Sejak tahun 2016 masih kawasan hutan,” tambahnya.

Sementara Rudi Hartono menegaskan bahwa Thawaf Aly dikenal sebagai tokoh petani dan pengurus KTMB sejak 2013.

“Saya kenal Thawaf Aly sejak kecil, kami satu kampung, meskipun beda RT. Ia aktif membantu petani di wilayah kami,” ungkapnya.

Baca juga:  Dewan Kehormatan IWO Tebo nyaris Dikeroyok Pelangsir dan Petugas SPBU Sijunjung 

Kedua saksi mengaku sangat mengenal Thawaf Aly sebagai aktivis yang kerap mendampingi petani di Merbau.

Sidang praperadilan ini diajukan oleh tim kuasa hukum Thawaf Aly yang terdiri dari Ahmad Azhari, Agus Efandri, M. Syamsurizal, dan Ringkot Nedy Harahap dari Pantasirua & Yatsirubisatya Law Firm.

Dalam permohonannya, mereka menyatakan penetapan, penangkapan, dan penahanan terhadap Thawaf Aly tidak sah dan batal demi hukum, karena melanggar Pasal 77 huruf a KUHAP.

“Penetapan hingga penahanan terhadap klien kami dilakukan sebelum pemeriksaan selesai, tanpa dasar hukum yang sah, dan melanggar hak asasi manusia,” tegas Azhari.

Kasus ini berawal dari laporan dugaan pencurian sawit di kawasan hutan Desa Merbau, Kecamatan Mendahara, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Thawaf Aly ditangkap pada 29 September 2025 dan dijerat Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan.

Tim kuasa hukum menilai perkara ini sarat rekayasa dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani, sebab akar persoalannya diduga kuat merupakan sengketa lahan antara kelompok tani Merbau dan pengusaha sawit asal Medan, Sucipto Yudodiharjo.

Sidang akan berlanjut dengan penyampaian kesimpulan dari pemohon dan termohon sebelum hakim memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap Thawaf Aly. (AAS)