TANYAFAKTA.CO, MERANGIN – Suasana mencekam sempat menyelimuti Desa Renah Alai, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Minggu (26/10/2025) lalu.

Diketahui, sekitar pukul 14.54 WIB, warga setempat melakukan aksi sweeping terhadap kelompok warga eksodus yang diduga melanggar aturan adat dan membuka lahan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

Informasi yang dihimpun menyebutkan, sedikitnya 70 orang warga eksodus diusir secara massal oleh masyarakat Desa Renah Alai. Aksi tersebut berlangsung tegang, namun berhasil dikendalikan sehingga tidak terjadi bentrokan fisik besar.

Kepala Desa Renah Alai, Hasan, membenarkan adanya tindakan pengusiran tersebut. Ia menyatakan langkah itu diambil karena para pendatang dianggap melanggar aturan adat serta merusak keseimbangan lingkungan di wilayah adat mereka.

“Iya, ada sebanyak 70 orang warga eksodus yang kita usir tadi, karena melanggar adat dan membuka lahan seenaknya saja,” tegas Hasan.

Menurut keterangan warga, kelompok eksodus itu diduga membuka lahan di kawasan konservasi TNKS. Aktivitas tersebut dinilai mencederai norma adat dan berpotensi merusak kawasan hutan lindung yang selama ini menjadi penyangga sumber kehidupan masyarakat setempat.

Baca juga:  Kaoem Telapak Gelar Lokakarya Nasional dan Luncurkan Aplikasi Pemantauan Ground-truthed.id

Diketahui, aparat TNI-Polri telah turun tangan untuk menengahi ketegangan dan memastikan situasi tetap kondusif. Bersama tokoh adat, aparat melakukan mediasi hingga kedua belah pihak sepakat mengikuti keputusan adat yang berlaku di Desa Renah Alai.

Situasi di lokasi kini berangsur kondusif, meski warga masih berjaga di sekitar permukiman untuk memastikan tidak ada lagi warga eksodus yang kembali masuk ke wilayah adat mereka.

Pengusiran dan sweeping ini diketahui berlangsung bersamaan dengan maraknya pembabatan puluhan ribu hektare kebun kopi produktif. Berdasarkan pantauan unggahan warganet, warga pendatang dituduh merampas tanah adat dan menggarap hutan TNKS.

Pemerintah Desa Renah Alai juga mengedarkan surat keputusan Lembaga Adat Desa Depati Seni Udo Renah yang berisi 5 poin aturan adat tentang “Tanah dan Adat Semang” yang berisikan instruksi dan sanksi bagi warga pendatang serta warga desa yang berinteraksi dengan pihak luar, khususnya dari wilayah Bengkulu dan Palembang.

Baca juga:  Bupati Merangin Buka Pelatihan Lembaga Adat Desa

Menanggapi peristiwa tersebut, Aktivis Agraria dan Advokat Azhari menyayangkan tindakan main hakim sendiri yang terjadi di Renah Alai.

“Upaya main hakim sendiri ini sangat disayangkan. Tidak hanya tak terpuji, tapi juga menabrak undang-undang dan nilai-nilai adat yang bersumber dari nilai suci agama. Saya yakin ini perilaku oknum dengan tujuan tertentu,” ujar Azhari.

Ia menegaskan bahwa semua aturan di bawah undang-undang memiliki hierarki yang jelas dengan UUD 1945 sebagai dasar tertinggi. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Di dalamnya ada nilai-nilai Pancasila yang wajib dipedomani semua elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Perbuatan premanisme dapat dijerat pidana berlapis seperti pencurian bersama, pengeroyokan, dan perusakan,” tambahnya.

“Bahkan bisa dijerat dengan Pasal 92 jo Pasal 94 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) jika tidak bisa membuktikan alasan pendudukan TNKS sebagai tanah adat dengan izin Kementerian Kehutanan,” jelas Azhari.

Baca juga:  Tuntut Soal Tanah Objek Land Reform Seluas 1500 Hektar, Ratusan Warga Sungai Bungur Gelar Aksi Unjuk Rasa

Azhari menilai, persoalan ini krusial dan pelik sehingga harus diselesaikan lintas sektoral dan lintas provinsi.

“Keselamatan warga pendatang harus diutamakan dan dilindungi. Pelaku kejahatan rasial terorganisir harus ditangkap aparat keamanan. Karena ini kelompok terorganisir, patut diduga ada penyandang dana di belakangnya. Pemerintah harus meluruskan pemahaman tentang masyarakat adat ini,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Forum Petani Kopi Lembah Masurai, Ginando, turut menanggapi situasi tersebut.

“Sebelumnya, sekitar dua bulan yang lalu, 65 orang petani didatangi massa dan dipaksa membuat surat pernyataan bagi hasil. Salah seorang petani korban bahkan sempat melapor ke Polsek Masurai karena keselamatan nyawanya terancam. Sepertinya Pemkab dan Polres Merangin tak mampu menyelesaikan ini. Kapolri bisa ambil alih,” ujar Ginando. (*)