TANYAFAKTA.ID – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 menjadi isu panas yang mengguncang ruang diskusi publik.
Kebijakan ini, meskipun telah diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan beberapa tahun lalu, membuka kembali pertanyaan mendasar: di mana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat?
Berdasarkan UU HPP, pemerintah memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif PPN antara 5% hingga 15%.
Namun, alih-alih mempertimbangkan opsi yang lebih ringan, seperti tetap di 11% atau bahkan menurunkan tarif demi mendukung daya beli masyarakat yang semakin tertekan, pemerintah justru memilih jalan yang paling membebani, yakni menaikkan tarif menjadi 12%.
Keputusan ini tentu menimbulkan spekulasi: apakah ini benar-benar untuk kepentingan negara, atau hanya sekadar mematuhi jejak kebijakan administrasi sebelumnya tanpa kajian kritis?
Melihat konteks saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah menyentuh angka Rp16.000. Dampaknya jelas: harga barang impor naik, inflasi meningkat, dan daya beli masyarakat anjlok.
Namun, di tengah situasi ini, pemerintah justru memilih untuk menaikkan tarif PPN, kebijakan yang akan memukul semua lapisan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
Kenaikan harga barang dan jasa yang diperkirakan mencapai 9% akibat kebijakan ini akan menjadi pukulan telak bagi masyarakat yang sudah berjuang menghadapi pengangguran dan ketimpangan ekonomi.
Lebih ironis lagi, alasan utama kenaikan PPN ini adalah untuk meningkatkan pendapatan negara demi membiayai proyek strategis seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan berbagai agenda lainnya.
Namun, banyak pihak mempertanyakan urgensi proyek-proyek ini di tengah krisis ekonomi yang menghantam mayoritas rakyat.
Apakah pembangunan IKN yang masih jauh dari relevansi kebutuhan rakyat benar-benar prioritas, atau justru hanya menjadi proyek ambisius yang menguras kas negara tanpa manfaat nyata?
Selain itu, kondisi ekonomi Indonesia saat ini memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran masih tinggi, dan upah riil pekerja di berbagai sektor cenderung stagnan.
Dalam situasi seperti ini, kenaikan PPN hanya akan memperburuk beban ekonomi rumah tangga, menggerus daya beli, dan memicu ketidakpuasan sosial.
Apakah pemerintah tidak menyadari risiko ini? Atau apakah pemerintah terlalu sibuk mengejar target fiskal sehingga mengabaikan dampak langsung terhadap rakyat?
Di sisi lain, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan memulai masa jabatannya memiliki peluang besar untuk menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Sebagai presiden baru, Prabowo memiliki wewenang untuk mengevaluasi ulang kebijakan tarif PPN ini. Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat, ia dapat memilih untuk menunda kenaikan tarif atau bahkan menurunkan PPN demi meringankan beban rakyat.
Tinggalkan Balasan