Oleh: Renova Sitorus

TANYAFAKTA.COAwal 2025 membawa sinyal yang kontradiktif bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal I tercatat 4,87% (yoy) semenjak pe. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terus melemah hingga Rp16.325 per USD. Di sisi lain, inflasi terkendali pada 1,6% (yoy), dan uang beredar (M2) tumbuh 4,9% ini merupakan sinyal bahwa permintaan domestik belum sepenuhnya pulih. Dihadapkan pada tekanan eksternal dari suku bunga tinggi The Fed dan perlambatan ekonomi global, Bank Indonesia (BI) dihadapkan pada dilema klasik:

“Apakah suku bunga harus diturunkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi?
Atau justru dipertahankan agar rupiah tidak semakin melemah?”

Kebijakan moneter dalam hal ini suku bunga acuan BI Rate yang saat ini berada di 5,50%, memegang kunci penting. Namun seperti pisau bermata dua, keputusan BI dapat menolong satu sisi perekonomian, tapi berisiko memperburuk sisi lain.

Kerangka Teori: Menelaah dengan Model IS-LM

Realitas Data Ekonomi 2025

Indikator Nilai (Mei 2025) Sumber
Pertumbuhan PDB (Q1) 4,87% (yoy) BPS
Inflasi 1,6% (yoy) BPS
BI Rate 5,5% BI
Nilai Tukar Rupiah (USD/IDR) Rp16.325 BI
Pertumbuhan Uang Beredar (M2) 4,9% BI
Indeks Keyakinan Konsumen 117,5 BI

Secara teori, ruang untuk menurunkan suku bunga terbuka lebar. Inflasi masih dalam batas aman (target BI: 2–4%) namun permintaan domestik belum pulih sepenuhnya. Ditambah kenyataan di pasar global membatasi langkah tersebut. Suku bunga The Fed masih berada di kisaran 4,25%–4,50%, menciptakan selisih suku bunga (interest rate differential) yang sempit. Menurunkan BI Rate berisiko menambah tekanan pada nilai tukar.

Baca juga:  Menutup Lubang Tikus, Menyelamatkan Limbur Lubuk Mengkuang Bungo

Untuk memahami implikasi kebijakan ini, kita dapat menggunakan model klasik makroekonomi IS-LM (Investment Saving – Liquidity Money). Model ini menjelaskan keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang:

  1. Kurva IS menunjukkan kombinasi antara tingkat suku bunga dan output di mana pasar barang berada dalam keseimbangan. Ia sangat dipengaruhi oleh konsumsi, investasi, dan ekspor neto. Konsumsi bergantung pada pendapatan dan kepercayaan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen BI pada Mei 2025 tercatat 117,5, menunjukkan optimisme konsumen yang mulai pulih. Investasi merespons suku bunga. Dengan BI Rate di 5,5%, ada ruang untuk pelonggaran lebih lanjut. Di sisi lain ekspor rentan terhadap nilai tukar dimana depresiasi rupiah memperbaiki daya saing ekspor namun bisa menggerek harga barang impor. Implikasinya, jika BI menurunkan suku bunga, konsumsi dan investasi akan naik ditandai oleh pergeseraan kurva IS ke kanan dan menyebabkan output meningkat.
  2. Kurva LM menggambarkan keseimbangan di pasar uang, di mana permintaan dan penawaran uang seimbang, dipengaruhi oleh suku bunga dan jumlah uang beredar. Permintaan uang naik seiring peningkatan pendapatan sementara penurunan suku bunga meningkatkan jumlah uang beredar.
Baca juga:  Komisi Informasi Provinsi Jambi Gelar Sidang Perdana Sengketa Informasi Publik antara ChanelBerita24.com dan BI Jambi

Sederhananya, kebijakan moneter ekspansif (seperti penurunan suku bunga atau penambahan likuiditas) akan menggeser kurva LM ke kanan, yang berpotensi menurunkan suku bunga dan meningkatkan output. Tapi apakah itu cukup di kondisi saat ini?

Pada awal tahun 2025, kredit belum tumbuh signifikan meski M2 meningkat. Artinya, transmisi kebijakan moneter belum bekerja optimal. Ini membuat LM kurang responsif, atau dalam istilah IS-LM: kurva LM landai, dengan elastisitas tinggi terhadap suku bunga.

Simulasi Kualitatif: Apa yang Terjadi Jika BI Turunkan Suku Bunga?

Variabel Ekonomi Sebelum (Mei 2025) Potensi Setelah Pelonggaran
Suku Bunga Acuan (BI) 5,5% 5,0%
Pertumbuhan PDB 4,87% 5,2% (estimasi)
Inflasi 1,6% 1,8–2,0%
Nilai Tukar (IDR/USD) Rp16.325 Rp16.500–16.700 (melemah)

Dilema Aktual: BI dalam Posisi Serba Salah

Menurunkan suku bunga memang dapat mendorong output melalui pergeseran IS. Namun, risiko depresiasi rupiah menjadi pertimbangan utama. Dengan posisi CAD (current account deficit) yang melebar dan sentimen global terhadap risiko pasar negara berkembang, pelonggaran moneter bisa memperburuk tekanan terhadap rupiah.

Keterbatasan Model IS-LM dalam Konteks Indonesia:

  1. Tidak mempertimbangkan ekspektasi pasar dan arus modal jangka pendek (high capital mobility).
  2. Mengasumsikan harga tetap (padahal nilai tukar sangat volatil).
  3. Tidak memperhitungkan dualisme sektor ekonomi (formal dan informal).
  4. Mengabaikan koordinasi fiskal-moneter, padahal peran APBN sangat menentukan dinamika agregat.
  5. Tidak memperhitungkan ekspektasi: Investor dan konsumen bertindak berdasarkan prediksi, bukan hanya kondisi sekarang.
  6. Rate turun, karena risiko meningkat.
Baca juga:  Kota Jambi Luncurkan Modul CBP Rupiah Pertama di Indonesia, Perkuat Literasi Keuangan Sejak Dini

Kesimpulan dan Rekomendasi:

Bank Indonesia tengah berada di simpang jalan. Model IS-LM menyarankan bahwa penurunan suku bunga berpotensi efektif untuk mendorong konsumsi dan investasi. Namun risiko eksternal tidak dapat diabaikan. BI harus menyeimbangkan kebutuhan ekspansi domestik dengan stabilitas eksternal, dan pelonggaran moneter idealnya didukung stimulus fiskal yang lebih proaktif, terutama untuk sektor produktif dan perlindungan daya beli masyarakat.

Penutup: Sinergi, Bukan Sekadar Suku Bunga

Kebijakan moneter tidak bisa bekerja sendiri. Menurunkan suku bunga mungkin memberi stimulus, tapi tidak cukup kuat jika tidak diiringi dengan kepercayaan pasar, stabilitas fiskal, dan reformasi struktural.

Sebaliknya, mempertahankan suku bunga demi menjaga nilai tukar juga berisiko mematikan pertumbuhan. Maka, keseimbangan menjadi kunci, dan itu hanya bisa dicapai jika kebijakan fiskal dan moneter bersinergi dalam satu arah.

Bagi BI, tantangan 2025 bukan hanya soal angka, tapi soal kredibilitas, komunikasi, dan strategi jangka menengah yang jelas.

Penulis : Mahasiswa Magister Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta (UNJ)